Langit e-commerce Indonesia sedang berawan. Tokopedia—ikon teknologi lokal yang dulu digadang sebagai kebanggaan digital bangsa—kini tengah menghadapi masa sulit setelah merger dengan TikTok Shop di bawah bendera ByteDance. Alih-alih memperkuat posisi di pasar, integrasi dua raksasa ini justru melahirkan friksi internal yang mengarah pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Gelombang PHK jilid dua menjadi sorotan publik setelah ratusan karyawan Tokopedia terpaksa angkat koper. Sekitar 180 orang terdampak pada Juli, disusul 240 lainnya pada Agustus 2025. Ini bukan pertama kalinya. Sejak ByteDance menguasai 75,1% saham, arah perusahaan berubah drastis ke efisiensi biaya.
Restrukturisasi ini memunculkan dilema. Di satu sisi, langkah efisiensi dianggap logis untuk menekan beban operasional di tengah kompetisi ketat dengan Shopee dan Lazada. Namun di sisi lain, keputusan tersebut menimbulkan ketidakpastian bagi ribuan karyawan dan penjual kecil yang menggantungkan hidup pada platform hijau tersebut.
Gudang Pintar Ditutup, Penjual Merana
Salah satu dampak paling terasa adalah penutupan layanan “Dilayani Tokopedia”, inisiatif gudang pintar yang sejak 2022 diproyeksikan menjadi kekuatan logistik seperti Fulfillment by Amazon. Program ini memungkinkan penjual menitipkan stok untuk diproses langsung oleh sistem pengiriman Tokopedia. Namun sejak 15 Agustus 2025, layanan itu resmi ditutup.
Penutupan ini bukan sekadar langkah efisiensi, tetapi juga memutus rantai kerja ratusan orang di bidang logistik, sistem, dan dukungan pelanggan. Di media sosial, banyak penjual mengeluhkan penurunan penjualan drastis serta migrasi akun yang bermasalah. Mereka menilai pengalaman berjualan kini jauh lebih rumit dibanding sebelumnya.
Salah satu keluhan terbesar datang dari sistem auto-accept order, yang membuat penjual kehilangan kendali atas stok dan waktu pengiriman. Jika terjadi kesalahan, rating toko ikut turun. Belum lagi pencairan dana yang semakin lama dan kewajiban mengikuti program gratis ongkir tanpa pilihan kurir.
Ketimpangan Pasar dan Ancaman Duopoli
Sementara Tokopedia sibuk membereskan rumah tangganya, kompetitor terus melaju. Data Sensor Tower menunjukkan pada kuartal pertama 2025, posisi Tokopedia sudah tergeser oleh Lazada, sementara Shopee masih kokoh memimpin dengan pangsa pasar lebih dari 50%.
TikTok Shop berada di posisi kedua dengan pertumbuhan signifikan, namun ironisnya, pertumbuhan itu justru menekan identitas Tokopedia sebagai platform lokal. Banyak pihak menilai kini Tokopedia hanya menjadi “ekstensi” dari TikTok Shop, bukan entitas yang setara.
Para pengamat memperingatkan bahwa jika tren konsolidasi berlanjut, pasar e-commerce Indonesia bisa terjebak dalam duopoli Shopee dan TikTok Shop. Hal ini berpotensi menurunkan kompetisi harga, mempersempit variasi layanan, dan memperlemah posisi tawar penjual kecil.
Di Balik Angka Efisiensi, Ada Dampak Manusia
PHK ratusan karyawan bukan sekadar statistik dalam laporan keuangan. Setiap nama yang tercoret adalah cerita tentang keluarga, mimpi, dan kompetensi yang hilang. Pengamat ketenagakerjaan Tajudin Nur Effendi menilai, tekanan investor untuk efisiensi kerap membuat manajemen mengorbankan strategi jangka panjang, seperti mempertahankan talenta atau membangun inovasi baru.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: sampai kapan model efisiensi ekstrem bisa dipertahankan tanpa merusak fondasi organisasi? Integrasi sistem bisa selesai secara teknis, namun membangun kembali kepercayaan—baik dari karyawan maupun penjual—tidak semudah menulis ulang kode.
Jalan Keluar: Integrasi yang Manusiawi
Agar kapal besar ini kembali berlayar, ByteDance dan manajemen Tokopedia perlu fokus pada integrasi yang empatik dan berorientasi manusia. Transisi sistem harus dibarengi komunikasi terbuka dan pendampingan teknis bagi penjual.
Tokopedia juga perlu mengembalikan diferensiasi—misalnya melalui program loyalitas pelapak lama, fitur kurasi UMKM, dan fleksibilitas layanan pengiriman. Tidak semua harus disubsidi; yang penting adalah memberi ruang bagi komunitas penjual untuk tetap merasa “memiliki rumah” di Tokopedia.
Jika langkah ini diambil dengan sungguh-sungguh, Tokopedia masih punya peluang untuk bangkit, bukan hanya sebagai platform belanja, tetapi simbol kemandirian digital Indonesia yang kembali menemukan jati dirinya.


