Satu Warta
Presiden Prabowo Subianto di dampingi Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin memeriksa pasukan saat upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Monas, Jakarta, Minggu (5/10/2025). Peringatan HUT ke-80 TNI mengusung tema TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju.
BeritaNasional

Militer Kembali Dominan, Pemerintahan Prabowo Dikhawatirkan Bangkitkan Gaya Otoritarian Orde Baru

Emkay New Blast Series

Jakarta, Satuwarta.com – Peran militer di Indonesia kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dinilai memperkuat dominasi tentara di ruang-ruang sipil. Kini, anggota TNI tidak hanya bertugas menjaga keamanan, tetapi juga mengelola pertanian dan mendistribusikan makanan ke sekolah-sekolah — sebuah fenomena yang memunculkan kekhawatiran akan kembalinya praktik “dwi fungsi ABRI” di era Orde Baru.

Langkah ini datang menjelang genap satu tahun masa pemerintahan Presiden Prabowo. Sejumlah pengamat menilai, pendekatan militeristik dalam pengelolaan pemerintahan dapat mengancam nilai-nilai demokrasi yang telah dibangun selama dua dekade terakhir.

Tentara Menjadi Teladan Pemerintahan

Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo menegaskan bahwa militer adalah simbol kedisiplinan dan ketegasan yang harus ditiru oleh para pejabat negara. Pada sebuah retreat bergaya militer untuk para menteri, Prabowo bahkan melatih mereka dengan pendekatan komando untuk menanamkan visinya dalam mengatur pemerintahan.

“Bangsa kita harus memiliki militer yang kuat. Tidak ada negara yang benar-benar merdeka tanpa tentara yang tangguh,” ujar Prabowo dalam salah satu pidatonya.

Pemerintah juga telah merevisi undang-undang yang memungkinkan perwira tinggi militer menduduki posisi strategis di lembaga sipil. Langkah ini menuai gugatan dari organisasi mahasiswa, namun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut.

Kekhawatiran Publik: Bayang-Bayang Dwi Fungsi ABRI

Para mahasiswa dan aktivis prodemokrasi menilai kebijakan tersebut mengingatkan kembali pada masa dwi fungsi ABRI, di mana militer memiliki peran ganda dalam bidang pertahanan dan politik. Sistem tersebut pernah menjadi tulang punggung rezim otoriter Soeharto selama lebih dari tiga dekade sebelum akhirnya dihapus pasca reformasi 1998.

“Kami tidak hidup di era Orde Baru, dan kami tidak ingin mengalaminya. Tapi yang kami lihat sekarang tidak jauh berbeda,” ujar salah satu perwakilan mahasiswa.
“Ruang sipil dibungkam, aktivis dikriminalisasi, dan banyak undang-undang disahkan tanpa mendengar suara rakyat.”

Baca Juga:  Perubahan Signifikan: Mahasiswa Tidak Wajib Skripsi Menurut Mendikbudristek Nadiem Makarim

Mantan jenderal yang turut menghapus sistem dwi fungsi ABRI pada masa transisi demokrasi juga mengingatkan bahwa negara tidak akan maju jika terlalu bergantung pada militer.

“Tentara memang disiplin dan terorganisir. Tapi jika politik sipil tidak bisa memimpin tanpa bergantung pada tentara, negara itu tidak akan pernah maju,” tegasnya.

Pengaruh Politik dan Anggaran Militer yang Membengkak

Menurut pengamat hukum tata negara Fitri Susanti, yang juga menjabat Wakil Ketua Indonesia Gentara School of Law, dominasi militer kini tidak hanya terlihat dari posisi pejabat, tetapi juga dari arah kebijakan negara.

Fitri mengungkapkan bahwa saat ini tidak ada oposisi politik yang kuat di parlemen. Hampir seluruh partai besar bergabung dalam koalisi pemerintah, membuat pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif menjadi lemah.

“Undang-undang militer yang baru saja disahkan hanya memakan waktu sembilan hari di DPR, tanpa ada satu pun partai yang menolak,” ujarnya.
“Anggaran pertahanan kini menjadi yang terbesar dalam APBN, namun tidak ada perdebatan publik yang signifikan.”

Ia juga menyoroti bagaimana tentara kini dilibatkan dalam berbagai proyek sipil seperti food estate, program ketahanan pangan terpadu yang justru dinilai sering gagal dan berpotensi merugikan masyarakat adat karena pengambilalihan lahan.

Selain itu, tentara kini juga terlibat dalam program makan gratis di sekolah-sekolah. Namun, laporan mengenai kasus keracunan massal di sejumlah daerah menimbulkan kekhawatiran akan lemahnya standar operasional dalam pelaksanaannya.

Antara Kepercayaan Publik dan Kekhawatiran Demokrasi

Survei terbaru menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap militer mencapai 90 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan terhadap lembaga kepolisian. Namun, menurut Fitri, hasil ini perlu dilihat dalam konteks rivalitas antara TNI dan Polri.

“Ada sejarah panjang persaingan antara militer dan polisi. Ketika polisi bertindak represif, publik cenderung kembali mendukung militer,” jelasnya.

Meski demikian, kalangan pegiat hak asasi manusia mengingatkan bahwa meningkatnya kepercayaan publik terhadap militer tidak boleh dijadikan alasan untuk memperluas peran mereka di pemerintahan. Demokrasi, kata mereka, hanya bisa tumbuh jika pemerintahan tetap dijalankan oleh otoritas sipil.

“Kegiatan ekonomi dan demokrasi tidak bisa berjalan di bawah bayang-bayang senjata,” tutup Fitri.

Kini, ketika TNI bersiap merayakan ulang tahun ke-80, masyarakat Indonesia menatap masa depan dengan waspada: apakah militer akan tetap menjadi tulang punggung negara atau kembali menjadi pengendali utama kekuasaan sipil — seperti di masa lalu yang kelam.

banner

Related posts

Impactnation Japan Festival 2023: Festival Budaya Jepang yang akan Hadir di GBK

Satuwarta

Ragukan Kebocoran Data dari LockBit: CISSReC Menganalisis Lebih Lanjut

Satuwarta

Kontroversi dan Biaya Pendidikan di Pondok Pesantren Al Zaytun

Faqih Jafar

Leave a Comment